03.35 Edit This 0 Comments »
Dulu di saat masih sekolah, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dijadikan sebagai satu mata pelajaran yang lebih dikenal dengan PPKn ( Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ). Berbeda halnya dalam bangku kuliah yang keduanya lebih dibahas secara mendalam dan dijadikan dua mata kuliah yang berbeda. Namun tentunya antara satu dan yang lainnya tetap berhubungan erat.
Jika kita menilik sejarah ke belakang, ternyata pendidikan kewarganegaraan sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno. Di era Soekarno, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan Pendidikan Civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan. Sayangnya, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orde Baru hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu. Hal itu menimbulkan suatu pertanyaan , apa ada yang salah dengan Pendidikan Kewarganegaraan kita? Apakah pendidikan kewarganegaraan menjadi hanya sekedar formalitas belaka yang tidak memiliki nilai apapun di dalamnya? Mengapa nilai urgensitas pendidikan kewarganegaraan menjadi begitu rendah?
Contoh kasus dari perjuangan bangsa indonesia melawan penjajah
Salah satu kasusnya kami buka dikoran Berita Yudha kami diisuekan akan kudeta BI dan salah satu konglomerat nonpri ditangkap (Edy Tansil) dan kasus kredit pembauran ini diungkap diberbagai mass media dimana Edy Tansil dalam PT perusahaannya setelah dapat kredit semua saham pribumi yang duduk dalam pengurus (karyawan dan sopirnya) setelah kredit cair dikeluarkan dari perseroannya maka lahirlah hanya 200 konglomerat nonpri. Kasus ini pernah dibongkar selama seminggu di partai Golkar dan kami hadir, Ternyata juga tak berdaya dan berbalik kompromi dengan konglomerat nonpri. Kemudian kami seminarkan di Hotel Milenium dan dibentuk Dewan Reformasi Ekonomi Nasional (DREN) ketua umumnya kami. Tak lama berselang salah satu tingkat atas gedung BI kebakaran apakah data Kredit Pembauran yang dimusnahkan ? Jika data itu tidak ada lagi di BI, bisa dicari di Bank Pelaksananya antara lain, Bapindo, Bank Exim dan Bank Dagang Negara yang kini semua dijadikan Bank Mandiri. Apakah penyatuan itu ada kaitannya karena bank-bank itu jadi lemah karena dananya sudah tersedot. Sejarah nasional itu perlu dibuka agar generasi penerus jangan melakukan kesalahan yang sama pada generasi sebelumnya. Peristiwa kebakaran masal atau peristiwa Mei anti Cina itu ada hubungannya atas kasus sejarah perjalanan konglomerat nonpri yang tidak sportif tersebut. Ungkapan tersebut perlu direnungkan lagi agar kita jangan menggunakan cara kotor dengan membalas atau memperbaikinya dengan kotor lagi. Gunakanlah dengan petunjuk agama yakni dengan menyadarkan yang berbuat salah atau dengan Revolusi Kesadaran. Atau dengan kasus hukum. Tetapi bukan dengan mafia peradilan sekarang yang ditangkap semua pribumi sehingga kasus penggelapan berkisar Rp.5000 trilin yang diperankan oleh kelompok nonpri tersebut tidak pernah terungkap. Undang-Undang tentang memenangkan pencemaran nama baik ini bukan ditujukan untuk orang yang memperbaiki NKRI. Tetapi ditujukan bagi mereka yang merusak NKRI. Jangan sampai virus benalu masuk ke DPR menghasilkan produk sistemik melindungi kejahatan yang merusak bangsa dengan melindungi seorang cikal bakal perusak bangsa.. Contoh : Kasus Tomi Winata (nonpri) dengan majalah Tempo yang berindikasi ada mafia bermain dipasar tanah abang, Ternyata Pengadilan memenangkan Tomy Winata dengan denda agar Tempo hancur total. . atau siapa saja yang berani melawan mafia akan hancur atau siapa saja yang menyelamatkan bangsa Indonesia atau NKRI akan hancur karena trendnya sudah mengarah beberapa fakta kejadian yang cukup banyak..
contoh kasus wawasan nasional bangsa Indonesia:
Sebagai negara kepulauan Indonesia tentunya tidak terlepas dari konflik atau permasalah yang
timbul baik dari dalam negeri sendiri maupun dari luar misalnya dengan negara-negara
tetangga yang terkait dngan batasan wilayah. Dari dalam negeri sendiri misalnya sampai saat
ini pemerintah belum mampu memberdayakan ribuan pulau yang tersebar di seluruh perairan
nusantara. Masih banyak pulau-pulau yang dimiliki yang masih belum memiliki nama sebagai
identitasnya. Bahkan beberapa pulau kecil di wilayah perairan dalam atau perairan kepulauan
misalnya digugusan kepulauan Nias, dan Karimun jawa banyak dikelola dan dimiliki warga
negara asing. Padahal sudah jelas dalam UU agraria tidak diperkenankan warga negara asing
memiliki wilayah di Negara Indonesia.
Upaya pengamanan wilayah perairan nusantara masih jauh dari harapan, terlebih lagi dengan
pulau-pulau kecil terluar yang dimilikinya. Padahal jika ditijau dari posisinya pulau kecil terluar
ini sangat strategis untuk menarik garis batas laut teritorial, zona tambahan, batas landas
kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sudah semestinya pulau-pulau tersebut kita
lindungi karena pada hakekatnya disinilah gerbang terdepan pertahanan dan kedaulatan
negara ditempatkan. Memang tidak bisa dipungkiri dengan tingkat perekonomian negara saat
ini besarnya anggaran adalah menjadi kendala utama, hal ini berimplikasi pada minimnya
kekuatan dan jumlah armada patroli baik laut maupun udara yang bertugas untuk memantau
dan melindungi pulau-pulau ini.
Selai itu penanganan masalah kelautan selama ini masih bersifat sektoral (perikanan kelautan,
pertambangan, perhubungan, pariwisata, pertahanan keamanan, energi dan dan lingkungan
dan lain-lain) dimana masing-masing instansi pemerintah tersebut memiliki kebijakan, cara
pandang dan juga tujuan pengelolaan yang berbeda-beda, sehinga masing instansi tersebut
berjalan sendiri sesuai dengan kebijakan dan tuajuannya. Begitu juga dengan upaya
pengamanan dan penegakan hukum di laut masih ditangani instansi sektoral yang
masing-masing didukung oleh Undang-Undang sendiri sehingga kemampuan
pengembangannya bersifat sektoral pula.
Kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh orientasi daratan sangat
mempengaruhi pola fikir dan cara pandang masyarakat dan juga pemerintah dalam
merumuskan kebijakan dan peraturan mengenai orientasi pembangunan baik ekonomi maupun
politik. Sebagai salah satu contoh dengan dikeluarkannya UU otonomi daerah No. 22 Th 1999
yang mana pemerintah pusat memberikan kewenangan atau otoritas kepada daerah (regional)
tidak hanya sebatas urusan pemerintahan semata namun juga dalam hal pemanfaatan dan
pengelolaan kekayaan sumberdaya yang dimilikinya, termasuk sumberdaya kelautan. Namun
sayangnya sampai saat ini masih banyak daerah yang memahami konsep desentralisasi ini
hanya terbatas pada wilayah daratan semata sehingga sebagian besar kebijakan yang
dikeluarkan hanya difokuskan pada sumberdaya daratan, padahal bagi propinsi,
kabupaten/kota tertentu esensi otonomi daerah juga ada di wilayah laut.
Dalam konteks ini
otonomi diartikan tidak hanya menjadikan daratan sebagai objek utama pembangunan namun
juga menjadikan laut sebagai sumber kekuatan baru dalam mendukung pembangunan baik
daerah maupun nasional. Dalam Forum Koordinasi dan Konsultasi Pengelolaan Wilayah
Perbatasan dan Pulau-Pulau Kecil Terluar, Menakertrans mengungkapkan belum tercerminnya
konsep negara kepulauan dalam sistem pembangunan nasional tersebut dapat dilihat pada
Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain
itu Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2005 tentang indikator Dana Alokasi Umum (DAU)
, juga lebih berpihak kepada wilayah daratan, sehingga laju pembangunan kepulauan lebih
lambat dibandingkan propinsi lainnya. Lebih jauh lagi Menakertrans menjelaskan bahwa
permasalahan mendasar provinsi kepulauan tidak adanya peraturan yang mengadopsi
kebutuhan negara kepulauan, terbatasanya pelayanan kepada masyarakat, dinamika ekonomi
terbatas dan berskala kecil, rentang kendali terlalu luas dalam melaksanakan pemerintah,
terbatasnya sumber pembiayaan baik APBN maupun APBD, serta rentan terhadap infiltrasi dan
intervensi dari negara tetangga.
Kultur dan pola fikir masyarakat dan juga pemerintah yang masih belum terfokuskan pada
pembangunan di sektor kelautan ini juga menyebabkan potensi sumberdaya kelautan yang
begitu besar dimiliki bangsa ini sebagian besar dimanfaatkan oleh bangsa lain.
Sebagai contoh sektor perikanan (tangkap dan budidaya) sampai saat ini belum mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah akibatnya (Soemarwoto, Kompas 2004) miliaran dolar setiap tahunnya ikan dari
perairan bangsa ini dicuri oleh nelayan asing, hanya 40% transportasi laut domestik yang
dkelola oleh bangsa Indonesia sendiri dan hanya 5% ekspor dilakukan oleh kapal domestik.
Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah delimitasi batasan maritim khususnya
dengan Negara yang memiliki batasan maritim dengan Indonesia. Delimitasi batas maritim
harus dengan perundingan sesuai dengan hukum internasional dan praktek-praktek negara,
delimitasi batas laut memiliki aspek internasional tidak hanya tergantung pada kehendak satu
negara (Keputusan ICJ 18 Des 1951 Dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case).
Jika perundingan sulit mencapai kesepakatan, perlu diupayakan penyelesaian melalui pihak ketiga.
Salah satu kasus yang dapat di jadikan contoh dalam permasalah ini adalah lepasnya pulau
terluar Sipadan dan Ligitan. Lepasnya dua pulau ini ke tangan Malaysia menjadi pelajaran
berharga bagi Indonesia. Walaupun secara territorial sejauh 12 mil laut serta menurut perjanjian
antara Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk kedalam wilayah kedaulatan NKRI,
namun Mahkamah Internasional (ICJ) lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di
kedua pulau ini. Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah Internasional
memenangkan Malaysia yakni keberadaan secara terus menerus (continuous presence),
penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation).
Sementara Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Kekhawatiran terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke
negara lain (Sipadan-Ligitan). Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga
(Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia, Philipina, dan
Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan
pertahanan keamanan. Lingkungan alam juga dapat terancam karena sebagian besar pulau
berhadapan langsung dengan lautan bebas, contohnya abrasi yang dapat menghilangkan titik
dasar. Dari 92 pulau-pulau kecil terluar (PPKT) yang tersebar di 20 Provinsi, terdapat 12 pulau
yang menjadi perhatian khusus yakni Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas,
Marampit, Batek, Dana, Fani, Fanildo, dan Pulau Bras (Mustofa, 1996).
Belum lama kasus lepasnya kedua pulau terluar Sipadan-Ligitan kini kasus serupa terjadi lagi di
blok Ambalat yang terletak di perairan Sulawesi. Perlu diketahui Blok Ambalat bukan
merupakan pulau melainkan blok yang kaya akan sumberdaya minyak dan gas bumi.
Sebagaimana diinformasikan oleh ENI (perusahaan penambang minyak asal Italia) yang selama ini
terikat kontrak dengan pemerintah RI menyebutkan wilayah blok Ambalat sangat
kaya akan sumber daya alam, terutama minyak yang diperkirakan mencapai lebih dari 400 juta
barel dan gas alam sebesar 3,3 triliun kubik. Di mana, kapasitas produksinya bisa mencapai
30-40 ribu barel per hari hingga 30 tahun. Blok ambalat merupakan terusan alamiah dari
daratan Indonesia sehingga sah merupakan Landasan kontinen dari Indonesia. Pakar hukum
laut internasional, Prof Dr Hasyim Djalal menyebutkan secara hukum serta berdasarkan
konsensus Mahkamah Internasional, Indonesia adalah pemilik sah wilayah Ambalat. Belajar
dari kasus lepasnya Sipadan-Ligitan, maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia secara
konsisten menunjukkan adanya “continues display of authority” disana. Diperlukan lebih dari
sekedar adanya armada patroli baik laut maupun udara disana untuk menunjukkan adanya
effective control. Sebenarnya masih banyak permasalah yang berkaitan dengan perbatasan
maritim Indonesia yang masih belum terselesaikan misalnya ; Perbatasan ZEE Ind – India ;
Perbatasan ZEE Ind – Thailand ; Perbatasan ZEE Ind – Malaysia dan Perbatasan ZEE Ind –
Vietnam. Untuk menaggulangi masalah delimitasi wilayah maritim Indonesia ini maka perlu
segera di susun Undang-Undang batas wilayah. Hal ini sangat penting sebagai jaminan agar
Indonesia tidak kehilangan wilayahnya.
Dari uraian di atas setidaknya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya NKRI yang berupa
Negara Kepulauan selain menyimpan potensi sumberdaya alam yang begitu melimpah juga
terdapat berbagai macam permasalahan yang harus dihadapi sebagai implikasi dari Negara
kepulauan tersebut diantaranya adalah pertama dalam hal penanganan masalah kelautan,
kedua kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang masih dominant berorientasi pada daratan
dan ketiga adalah delimitasi batas maritime dengan Negara lain.
10 Budaya Indonesia Yang Di Klaim negara tetangga
1.Batik
Klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Bangsa ini harus segera menghapus bayang-bayang yang meresahkan itu agar perajin batik Indonesia di kemudian hari tidak perlu memberi royalti kepada negara lain.
Perajin batik Pekalongan, Romi Oktabirawa, mengatakan hal itu dalam pembentukan Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Romi mengatakan, generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia.
Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh Unesco sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage).
2.Tari Pendet
Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai aset budaya nasional dalam rentang waktu yang tak begitu lama, diklaim negara tetangga. Pola pengklaimannya pun dilakukan melalui momentum formal kenegaraan. Seperti melalui media promosi ‘Visit Malaysia Year’ yang diselipkan kebudayaan nasional Indonesia.
3.Wayang Kulit
4.Angklung
5.Reog Ponorogo
6.Kuda Lumping
7.Lagu Rasa Sayange
8.Bunga Rafflesia Arnoldi
9.Keris
10.Rendang Padang
Sepertinya Malingsia tidak ada puas-puasnya meng klaim kesana kemari terhadap budaya indonesia,malah belakangan ini bahasa Indonesia akan di klaim juga sebagai milik malingsia dengan nama bahasa melayu…sungguh suatu tindakan yang sangat tidak beretika.
sepuluh budaya yang di klaim tersebut diatas masih sebagian kecil dari yang sudah di klaim,masih banyak lagi budaya serta milik bangsa indonesia yang di klaim malingsia…misalnya pulau sipadan dan ligitan,tenun ikat sambas,pulau gosong di kal-bar,tari poco-poco,sebuah lagu dari sumatra barat,rapa’i dan serunai dari aceh,dan yang masih heboh klaim pulau ambalat,dan masih banyak lagi…masihkah kita berdiam diri sementara negara telah di obok-obok oleh malingsia?sungguh sangat ironis sekali apabila pemerintah hanya terdiam dan cuma geleng-geleng kepala tanpa mengambil tindakan..
Sumber: Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar